Ironi Palestina; Sebuah Resensi

on Friday, December 21, 2012

ironipalestina
Semua orang yang tinggal di Palestina dan Israel adalah manusia. Hal dasar itu yang kadang kita, publik di luar konflik, lupa. Selama ini kita cenderung mengkotak-kotakkan mereka yang terlibat konflik menjadi dua; Islam dan Yahudi, atau korban dan pelaku. Padahal tidak sepenuhnya benar.

Hal ini diungkapkan tersirat oleh Faisal Assegaf dalam buku independennya, Ironi Palestina. Dengan latar belakang sebagai jurnalis, ia menulis sesuai realitas kehidupan sehari-hari penduduk Palestina dan Israel. Dinamika kehidupan personal masyarakat dan hubungannya dengan kasus pendudukan Israel pada Palestina dibahas Faisal dengan sangat manusiawi. Hal ini sangat menarik. Karena di Indonesia tidaklah mudah menemukan media yang menjelaskan permasalahan sensitif ini dari sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang kedua belah pihak.

Cerita sederhana tidak pernah diungkapkan oleh media massa yang berbasis popolaritas, biasanya melebih-lebihkan dan mengheboh-hebohkan sebuah kejadian. Kebanyakan media Islam di Indonesia melihat dari satu sudut pandang dan kesemuanya melakukan propaganda kebencian berlebihan pada salah satu bangsa; Yahudi. Propaganda kebencian berlebihan ini lama kelamaan akan menjurus pada rasisme. Zionisme adalah idealisme rasisme akut, dan kalau disikapi dengan rasisme yang lebih parah, justru akan membuat kita tidak ada bedanya dengan zionis.

Selain berita-berita saduran dari media massa Internasional, Faisal Assegaf juga memberikan kisah-kisah yang diperoleh melalui wawancara eksklusif. Dalam wawancaranya dengan Rabbi Ahron Cohen, juru bicara dari Neturei Karta, sebuah kelompok Yahudi ortodoks yang dibentuk pada 1935, mengungkapkan bahwa pada dasarnya Yudaisme dan Zionisme adalah dua hal yang berbeda. Yudaisme adalah sebuah agama dan cara hidup dan sudah ada selama 3.500 tahun. Sejarah menunjukkan selama dua ribu tahun bangsa Yahudi menyebar ke seluruh dunia. Ajaran Yahudi melarang membangun sebuah negara. Sedangkan zionisme adalah satu konsep baru yang muncul beberapa ratus tahun lalu dan dibuat oleh orang-orang Yahudi sekuler yang mengadopsi gagasan nasionalisme. Ini sangat bertentangan dengan pendekatan ajaran Yudaisme. Beberapa ajaran Yahudi telah disalahartikan dan dieksploitasi demi kepentingan zionisme. Selain dengan Rabi Cohen, juga ada wawancara dengan Mahmud Zahar, pendiri dan pemimpin Hamas di Jalur Gaza; Nadia Abu Marzuq, Istri Wakil Kepala Biro Politik Hamas Musa Abu Marzuq; Marwan Barghuti, Pemimpin Intifadah; Mordechai Vanunu, Pembocor Rahasia Nuklir Israel; hingga Haji Ali Akbari, Wakil Presiden Republik Islam Iran.

Tidak hanya tokoh-tokoh terkenal terdapat dalam buku Ironi Palestina ini, ada banyak tokoh-tokoh biasa. Namun justru itu lah yang memperkuat sudut pandang personal dan manusiawi buku ini. Ada pasangan kekasih antara dua bangsa berkonflik sehingga mereka kesulitan untuk menikah. Ada cerita tentang dua sahabat pena berbeda bangsa saling berdebat mengenai konflik. Ada janda-janda muda Gaza ditinggal syahid suami mereka namun tidak bisa menikah lagi sehingga masa depan anak-anak tidak terjamin. Ada penduduk menganggap jatuhnya roket ke wilayah pendudukan adalah tontonan dan hiburan. Ada dilema seorang buruh bangunan Palestina yang terpaksa membangun pemukiman Israel karena tidak ada pilihan pekerjaan lain. Hingga Omer Goldman, anak wakil direktur Mossad, menentang ayahnya sendiri dengan menolak masuk wajib militer Israel dan membuat organisasi ‘Anarki Anti Tembok Pemisah’ dengan teman-teman sekolahnya.

Sejak awal, Indonesia memang dikenal dengan bangsa yang sangat peduli dengan keberpihakan pada bangsa Palestina. Dengan membaca kisah-kisah dalam buku ini, diharapkan publik Indonesia mampu melihat peristiwa yang terjadi di Palestina dan Israel dari sudut pandang yang lebih luas, sehingga keberpihakan kita pada Palestina akan menjadi jauh lebih manusiawi dan tidak terjebak pada propaganda kebencian membabi buta.[nad]



View the
Original article

0 comments: