Persatuan dalam Perbedaan Islam

on Thursday, June 28, 2012

“Kehancuran Islam bukan disebabkan ulah orang-orang di luar Islam, melainkan karena kesalahan orang Islam sendiri” –KH. Mustofa Bisri—

Seringkali ketika menonton berita di televisi maupun internet, saya menyaksikan bermacam kekerasan yang dilakukan oleh kaum Muslim, baik kepada kelompok non Muslim, maupun –yang lebih ironis— dilakukan pada sesama Muslim yang dianggap berbeda dalam pemahaman tentang ajaran agama. Padahal, jika mau jujur dalam berpikir, sesungguhnya prinsip “perbedaan” dalam memahami agama ini sudah sejak lama diingatkan oleh Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa Sallam dalam sebuah hadits yang menyebutkan bahwa pada suatu masa, umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, di mana hanya satu golongan yang akan dimasukkan ke dalam surga Allah. Golongan yang akan masuk ke dalam surga ini, adalah golongan yang secara benar mengikuti sunnah rasul dalam segala sendi kehidupannya.

Dari hadits yang sudah dijelaskan sebelumnya, kita mendapat pelajaran bahwa perbedaan yang ada sekarang ini merupakan sunnah Allah yang memang sudah seharusnya terjadi. Siapa pula yang bisa menentang kehendak-Nya? Sementara dalam al-Quran Allah juga menyebutkan bahwa perbedaan antar ummat ini merupakan bagian dari irodah, bagian dari keinginan Tuhan atas makhluk ciptaan-Nya.

Dalam kesempatan lain, Nabi Muhammad menyebutkan bahwa dalam perbedaan terdapat kasih sayang Tuhan terhadap makhluk-Nya. Kasih sayang ini, antara lain terbentuk dalam kesempatan untuk memahami satu sama lain tanpa menuntut kesamaan pendapat dan pemahaman tentang Islam, antara satu golongan dengan yang lain. Inilah yang kemudian disebut di seluruh dunia sebagai prinsip “kebebasan berpikir dan berpendapat” yang menjadi bagian mutlak dalam asas-asas mengenai hak asasi manusia.

Sementara dalam hadits tentang posisi Muslim dengan Muslim lain, Nabi Muhammad menyebut bahwa antara satu Muslim dengan Muslim yang lain adalah seumpama satu tubuh, yang meski tak serupa tapi padu dalam fungsi, yang bila sebagian sakit, maka turut merasa sakitlah seluruh tubuh. Artinya, sebagai sesama muslim –tanpa memandang dari sekte apa pun, dengan perbedaan apa pun— seharusnya kita tidak saling memusuhi, tapi sebaliknya. Saling menjaga satu sama lain, dari berbagai gangguan yang berasal dari luar. Jika dari gangguan luar saja kita harus menolak dan jika perlu melawan, mana boleh kita menghancurkan tubuh kita dari dalam?.

Berada dalam perbedaan, bukan berarti kita juga harus berada dalam permusuhan antar golongan, antar paham dan sekte yang ada dalam Islam, di mana kita sebenarnya berada dalam ‘rumah’ yang sama. Ibarat keluarga, kita adalah anak-anak dari orang tua yang sama. Lalu, kenapa kita harus bertengkar? Kenapa sesama Muslim harus saling menghujat? Sementara kita tahu, bahwa ‘peperangan’ antar kita lah yang menjadi harapan dari mereka yang ingin menghancurkan Islam.

Maka, yang  seharusnya kita lakukan sebagai Muslim adalah menguatkan rasa persatuan dan persaudaraan antar sesama Muslim di seluruh dunia, tanpa memandang perbedaan pemahaman agama yang ada, tapi lebih menguatkan pemahaman dan kesadaran atas kesamaan Tauhid, keimanan pada Allah sebagai Tuhan, dan Muhammad sebagai Nabi utusan dengan ajaran yang mendamaikan bagi seluruh alam, rahmatan lil ‘alamin. Berakhir sudah masa-masa dakwah yang mengajak umat Muslim untuk berperang secara fisik, berperang dengan kekerasan otot. Zaman sudah berubah, saatnya kita sebagai Muslim merapatkan barisan dalam damai. Mewujudkan dunia yang kita impikan bersama sebagai manusia yang beradab. Tak perlu terulang lagi kasus-kasus terorisme yang selama ini diidentikkan dengan Islam, tak perlu ada lagi penindasan kaum Muslim oleh non-Muslim. Dan, tak perlu lagi, televisi dan media massa kita dihiasi oleh kekerasan, apa pun alasannya. Dalam damailah kemajuan yang sejati.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

View the Original article

0 comments: