Islam, sejak awal kemunculannya di abad ke-7 Masehi, sebenarnya telah menjawab berbagai permasalahan di tiap aspek kehidupan, termasuk permasalahan yang diangkat oleh kaum feminis, yaitu kesetaraan gender. Akan tetapi, karena tidak semua orang tahu dan mau tahu dengan ajaran Islam, maka semua solusi yang Islam tawarkan menjadi sia-sia.
Jika dipahami dari latar belakang sejarahnya, menggeloranya gerakan feminisme, khususnya di Barat, sebenarnya terjadi akibat penistaan yang menimpa perempuan. Penistaan itu dilakukan sejak masa jahiliyah, jauh sebelum kedatangan Islam sampai dengan masa revolusi industri. Pada masa itu, kaum perempuan pada berbagai peradaban di dunia tidak lebih dianggap sebagai komoditas, alat pemuas nafsu yang diperjualbelikan sebagaimana hewan ternak (Patel, 2005).
Bahkan, Aristoteles yang merupakan filsuf besar Yunani pun pernah mengatakan “… dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa menurut hukum alam, harus ada unsur yang secara alamiah memerintah dan harus ada unsur yang secara alamiah diperintah … Kekuasaan orang-orang yang bebas terhadap para budak adalah salah satu bentuk hukum alam; demikian pula kekuasaan kaum lelaki atas kaum perempuan … Para budak sama sekali tidak mampu memberikan pertimbangan, sedangkan kaum perempuan memang mampu, tetapi dalam bentuk yang tidak pasti” (Patel, 2005).
Orang-orang Yunani memposisikan kaum perempuan pada kasta ketiga (kasta yang paling bawah) dari masyarakat (Patel, 2005). Hal itu dikarenakan adanya keyakinan bahwa sesungguhnya wanita adalah penyebab penderitaan dan musibah bagi seseorang (Al-Istambuli, 2006).
Apabila seorang perempuan melahirkan anak yang cacat, biasanya ia akan dihukum mati. Orang-orang Yunani juga umumnya menganggap bahwa kaum perempuan adalah makhluk yang tidak berarti, yang tidak akan dikasihi oleh para dewa (Patel, 2005).
Berbeda lagi pandangan dari kaum Yahudi. Kaum Yahudi ortodoks yang mempelajari ajaran klasik Yahudi akan mendapati bahwa ada di antara ajaran dan aturan Yahudi yang dinilai menindas kaum perempuan. Talmud, sebuah kitab yang berisi aturan-aturan dalam kehidupan pribadi dan peribadatan menyatakan “Mustahil ada sebuah dunia yang tanpa ada keberadaan kaum lelaki dan perempuan. Namun demikian, berbahagialah orang-orang yang mempunyai anak laki-laki, dan celakalah orang-orang yang mempunyai anak perempuan” (Patel, 2005).
Bangsa Prancis yang kita kenal sebagai bangsa yang modern dan berpendidikan pun pernah mengeluarkan resolusi (tahun 586 M) yang isinya mencoba untuk menunjukkan “kemurahan” dan “keberadabannya”. Resolusi yang dikeluarkan setelah melalui pertimbangan dan perdebatan yang panjang itu menyatakan bahwa “perempuan dapat diklasifikasikan sebagai manusia, namun demikian ia diciptakan semata-mata untuk melayani kaum laki-laki” (Patel, 2005).
Bangsa Inggris pun ternyata tidak jauh berbeda dengan bangsa Prancis. Hukum Inggris menetapkan bahwa dalam ikatan perkawinan, seorang perempuan akan kehilangan hak-hak yang dia miliki saat ia masih belum terikat pernikahan. Seluruh harta kekayaannya berpindah kepada suaminya, sehingga diri dan hartanya berada dalam kekuasaan penuh suaminya. Seorang suami bahkan tidak perlu bertanggung jawab kepada istrinya. Sang istri tidak dapat mengeluarkan harta miliknya, atau membuat perjanjian bisnis atas nama dirinya, dan juga tidak dapat menuntut maupun dituntut. Secara praktis, pernikahan sama artinya dengan saat kematian hak-hak sipil seorang perempuan (Patel, 2005).
Penomorduaan derajat perempuan terus terjadi hingga masa revolusi industri. Pada masa itu, derajat kaum perempuan juga sangat rendah karena mereka dianggap sebagai pihak yang tidak memberikan sumbangsih terhadap negara sebab mereka tidak bekerja. Sebaliknya, kedudukan pihak laki-laki sangat tinggi karena mereka bekerja, yang dengan pekerjaannya itu negara mereka menjadi maju.
Dari uraian di atas, kita dapat mengetahui bagaimana kedudukan perempuan yang sangat rendah dan lemah di mata bangsa Barat. Jika mayoritas bangsa di Barat memerlakukan perempuan seperti itu, maka wajar kiranya jika di kemudian hari mereka berontak dan menuntut persamaan hak, seperti yang terjadi pada kasus gerakan feminisme ini. Sayangnya, para aktivis feminis ini melakukan kesalahan mendasar dimana mereka menyangka bahwa semua wanita di dunia diperlakukan sama dengan mereka, padahal perlakuan seperti itu tidak pernah dan tidak akan pernah mereka temui dalam konsep hidup Islam.
Referensi:
Al-Istambuli, M. M., dan Asy-Syalabi, M. A. N. 2006. Sirah Shahabiyah Kisah Para Sahabat Wanita. Pekalongan: Maktabah Salafy Press.
Patel, I. A. 2005. Perempuan, Feminisme, dan Islam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
View the Original article
0 comments:
Post a Comment