Dewasa ini gerakan feminisme tumbuh dan berkembang sedemikian pesatnya. Gerakan itu dengan cepat menyebar dari bumi belahan barat sampai bumi belahan Timur. Tujuannya satu, menuntut kesetaraan gender.
Mereka, kaum feminis, menilai bahwa selama ini pembagian peran antara laki-laki dan perempuan belum adil (equal). Perempuan selalu diidentikkan dengan pekerjaan di dapur, mengurus anak, dan segala keperluan rumah tangga, sedangkan bekerja atau mencari nafkah adalah tugas laki-laki. Perempuan selalu diidentikkan sebagai makhluk yang harus tunduk (sub ordinat) pada laki-laki. Di sisi lain, laki-laki dituntut memiliki jiwa kepemimpinan yang mumpuni. Perempuan juga selalu dianggap sebagai makhluk yang lemah, mudah menangis (dan dimaklumkan untuk menangis), serta menjadi objek seksual laki-laki, sedangkan laki-laki adalah makhluk yang kuat, pantang menangis, serta suka menggoda (dan diwajarkan untuk menggoda wanita).
Bagi kaum feminis, konsep seperti itu adalah konsep usang. Mereka tidak setuju dengan konsep “jadul” seperti itu. Mereka ingin perubahan. Mereka ingin membongkar stereotip-stereotip yang selama ini tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Akan tetapi, banyak pengamat menilai bahwa tujuan dari gerakan ini belum terdefinisikan dengan jelas. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang kemudian timbul akibat ketidakjelasan tujuan ini. Misalnya, jika perempuan menuntut kesetaraan, lalu apa yang mau disetarakan? Peran kah? Kalau peran antara laki dan perempuan ingin disamakan, lalu untuk apa di dunia ini ada laki-laki dan perempuan? Kenapa tidak laki-laki atau perempuan saja? Pertanyaan lain yang juga muncul, kalaupun kesetaraan adalah harga mutlak dan tidak bisa ditawar lagi, lalu sudah siapkah perempuan disetarakan dengan laki-laki? Dalam dunia kerja misalnya, siapkah perempuan disetarakan dengan laki-laki yang tidak pernah cuti hamil, melahirkan, menyusui, dan menstruasi?
Adil = Equal?
Jika dikritisi lebih lanjut, gerakan yang tercetus karena merasa diperlakukan tidak adil ini sebenarnya memang telah cacat sejak dari pendefinisian tujuan karena mereka salah menafsirkan konsep adil dalam berkehidupan. Mereka lupa bahwa penerapan konsep adil tidak selamanya harus equal (sama rata), tapi ada juga keadilan yang equity (proporsional). Misalnya begini, dua orang anak diberikan uang jajan oleh ibunya. Anak pertama mendapat Rp 10.000, sedangkan anak kedua mendapat Rp 2.000. Apakah sang ibu tersebut tidak adil? Justru disitulah letak keadilan sang ibu karena dia tau bahwa kebutuhan anak keduanya yang baru duduk di bangku SD adalah Rp 2000, sedangkan kebutuhan anak pertamanya yang duduk di bangku SMA adalah Rp 10.000. Kalau sang Ibu menganggap bahwa adil adalah equal, kemudian membagi ongkos tersebut sama besar, yaitu tiap anak mendapat Rp 6.000, Ibu tersebut justru menjadi tidak adil.
Permisalan di atas semoga tidak disalahartikan. Dengan pemisalan itu, bukan berarti penulis menganggap bahwa kaum perempuan adalah kaum yang lebih kecil dan lemah daripada laki-laki (bagai kakak beradik yang terpaut jauh usianya). Sama sekali bukan itu maksudnya. Contoh di atas hanya berusaha menjelaskan konsep keadilan, yaitu bahwa keadilan tidak selamanya harus diterapkan secara equal (sama rata), tapi ada juga adil yang equity (proporsional). Bukan adil namanya jika kaum perempuan ikut-ikutan meracik semen, pasir, dan batako untuk membangun rumah seperti yang para lelaki lakukan. Adil adalah, manakala perempuan “menservis” laki-laki dengan makanan yang enak untuk memasok tenaga mereka.
Kesalahkaprahan dalam mendefinisikan konsep “adil” pada akhirnya mengaburkan orientasi dan tujuan dari gerakan ini. Gerakan yang semula bertujuan menuntut kesetaraan, kemudian berubah arah menuju penuntutan kekuasaan. Mereka ingin menjadi pemimpin, yaitu pemimpin yang tidak hanya mengomandoi kaum Hawa, tapi juga kaum Adam. Buntutnya, di Barat terjadi penuntutan kekuasaan yang kebablasan oleh kaum perempuan. Fenomena yang termasyhur adalah ketika seorang wanita bernama Amina Wadud (aktivis feminis dari USA) mengangkat dirinya menjadi imam sholat bagi kaum laki-laki, bahkan juga menjadi khotib pada khutbah sholat Jum’at.
Hal ini tentu sudah sangat keterlaluan karena pada dasarnya Allah sendiri telah mengangkat kaum laki-laki untuk menjadi pemimpin bagi kaum perempuan. Hal itu tertuang dalam ayat al-Qur’an berikut ini:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…” (Terjemahan Q.S. An-Nisaa (4): 34).
View the Original article
0 comments:
Post a Comment