Islam Di Belanda #3: Masjid Komunitas Maroko

on Tuesday, January 1, 2013

Seperti halnya masjid komunitas Turki, masjid komunitas Maroko pun sebenarnya memiliki nama resmi, tapi warga Indonesia lebih cenderung menyebut dengan sebutan masjid komunitas Maroko atau masjid Selwerd. Selwerd di sini menunjuk pada nama tempat (daerah) masjid tersebut berada.

Dalam hal komposisi jamaah, masjid ini cenderung lebih plural daripada masjid Turki karena jamaahnya berasal dari berbagai belahan dunia. Banyak jamaah yang berdatangan ke sini karena rata-rata jamaah di sini bisa berbahasa Arab dan Belanda, sehingga bisa lebih akrab dan membaur satu sama lain. Meski cenderung lebih plural, tapi tetap saja ada jamaah mayoritas, dan jamaah dari Timur Tengah lah yang menjadi mayoritas di sini.

Jumlah jamaah dari Timur Tengah memang sangat banyak. Mereka umumnya adalah para imigran yang hidupnya ditanggung pemerintah Belanda. Hal ini sempat dipermasalahkan oleh Geert Wilders, salah satu politisi Belanda yang anti Islam. Dia menganggap bahwa penanggungan biaya hidup imigran oleh pemerintah itu membebani negara, apalagi saat ini Eropa sedang dilanda krisis ekonomi. Oleh karena itu, dia menyaranakan agar para imigran dipulangkan saja ke negara asalnya. Akan tetapi, sampai saat ini nyatanya hal itu hanya menjadi kicauan seorang Wilders saja.

Kembali ke topik utama, jika dilihat dari luar, bangunan masjid ini tampak tidak terlalu besar. Bentuknya pun agak aneh karena lebih menyerupai rumah daripada tempat ibadah. Akan tetapi, daya tampung masjid ini tidak kalah dengan masjid komunitas Turki. Masjid ini juga terdiri dari beberapa ruangan. Di lantai satu terdapat toko, kantor, toilet, tempat wudhu, ruang bersama, dan ruang utama untuk sholat, sedangkan lantai dua biasanya digunakan untuk jamaah perempuan.

Berbeda dengan masjid Turki yang hanya buka pada waktu-waktu tertentu saja, masjid Maroko selalu buka setiap hari, dari pagi sampai malam, termasuk tokonya. Jadi, jamaah bisa lebih leluasa keluar masuk masjid dan belanja makanan halal di tokonya. Jamaah pun tidak diharuskan memakai kaos kaki untuk masuk ke ruangan utamanya. Dan satu hal yang tidak kalah pentingnya, tempat wudhu di masjid ini memakai keran biasa, sama seperti tempat wudhu masjid-masjid di Indonesia.

Masjid ini biasanya ramai pada hari Jumat dan hari Ahad. Pada hari Jumat, jamaah ramai berdatangan untuk melaksanakan sholat Jumat. Khutbah Jumat di sini selalu disampaikan dalam bahasa Arab. Terkadang khotib juga menjelaskan intisari khotbah dengan bahasa Inggris setelah selesai sholat. Imam masjid di sini memang fasih berbahasa Inggris. Akan tetapi, khotbah tidak disampaikan dalam bahasa Inggris karena jamaah lebih banyak yang fasih berbahasa Arab daripada bahasa Inggris.

Satu hal yang menarik di masjid ini adalah, setelah sholat Jumat seringkali ada muallaf yang berikrar syahadat. Ikrar-ikrar itu selalu mengundang rasa haru di dada para jamaah, sehingga tidak jarang jamaah yang menitikkan air mata setelah prosesi syahadat. Hal ini setidaknya bisa menjadi indikator bagaimana Islam mulai tumbuh di Eropa.

Konsekuensi positif dari semakin bertambahnya jamaah adalah daya tampung masjid yang semakin kurang. Oleh karena itu, takmir masjid berencana untuk segera merenovasi masjid agar bisa menampung jamaah lebih banyak. Masjid ini juga diproyeksikan menjadi Islamic Center di Groningen.

Pada hari Ahad, jamaah ramai berdatangan untuk belajar. Masjid ini memang menyediakan kelas untuk belajar Al-Qur’an dan bahasa Arab, tetapi mereka yang belajar umumnya adalah anak-anak kecil usia SD-SMP. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda.



View the
Original article

0 comments: