Sebagai makhluk yang dibekali akal, manusia tidak bisa lepas dari budaya. Budaya diciptakan atau dikembangkan untuk menyokong hidup dan kehidupan manusia. Budaya sendiri meliputi perlengkapan hidup, peralatan, bahasa, negara, hukum, ilmu pengetahuan, dan agama.
Adat merupakan salah satu produk dari budaya. Adat sendiri didefinisikan sebagai aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala (KBBI). Antara negara yang satu dengan yang lainnya memiliki adat yang tidak sama, bahkan boleh jadi lebih banyak perbedaannya. Jangankan negara, masyarakat di satu negarapun sangat mungkin memiliki adat yang berbeda-beda. Di Indonesia misalnya, adat masyarakat Jawa tidaklah sama dengan adat masyarakat Sunda, meski mungkin ada beberapa persamaan yang dapat ditemui di kedua masyarakat itu.
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak melarang penyelenggaraan adat istiadat suatu bangsa atau masyarakat selama hal itu tidak menentang syariat-syariat yang sudah Allah tetapkan. Bahkan Allah melanggengkan beberapa adat manusia (bangsa Arab) yang sudah ada sebelum Rasulullah mendakwahkan Islam, misalnya saja adat thawaf.
Thawaf (mengelilingi Ka’bah) merupakan adat bangsa Arab. Adat ber-thawaf sebelum datangnya Islam dilakukan dengan cara yang sangat jahil, yaitu dengan bertelanjang. Kemudian Islam datang dan memperbaiki adat thawaf itu dengan tata cara yang lebih bermoral dimana kebiasaan bertelanjang selama thawaf dihapuskan.
Kata “memperbaiki” di atas sengaja penulis beri garis bawah sebagai bentuk penekanan. Allah tidak melarang atau menghapuskan sama sekali adat thawaf itu, tapi hanya memperbaikinya. Bahkan kemudian Allah menaikkan derajat thawaf dari yang semula hanya sebagai kebiasaan menjadi bentuk ibadah kepada-Nya.
Begitu pula halnya dengan berpakaian karena berpakaian juga merupakan sebuah adat. Bangsa Arab memiliki pakaian adat berupa gamis dan bangsa China memiliki baju koko, yang keduanya biasa dipakai oleh masyarakat kita untuk beribadah. Pakaian-pakaian adat seperti itu sah-sah saja dipakai selama tidak menampakkan aurat.
Akan tetapi, Allah menentang keras jika penyelenggaraan adat itu menabrak dinding-dinding pembatas yang sudah Dia dirikan. Berita buruknya, kebanyakan penyelenggaraan adat di masyarakat kita (Indonesia) menabrak dinding pembatas itu. Sadar atau tidak sadar. Beberapa contohnya adalah penyelenggaraan pesta laut, peringatan malam satu Syuro, Safaran, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kita bahas salah satu contohnya, yaitu pesta laut. Di beberapa masyarakat, menggelar pesta laut sudah menjadi ritual yang harus dilakukan. Masyarakat beramai-ramai mengumpulkan hasil tani dan membawanya ke laut. Hal itu sebenarnya tidak menjadi masalah selama tidak membentur aqidah. Akan tetapi, hal itu menjadi masalah besar ketika hasil tani yang telah mereka kumpulkan justru dibuang ke laut, bukannya dinikmati beramai-ramai dan kemudian mengharap berkah dari “makhluk laut”, karena dengan begitu mereka setidaknya telah melakukan dua perilaku tercela, yaitu berperilaku mubazir (boros) dan menyekutukan Allah.
Dua perilaku itu sangat jelas dilarang oleh Allah. Allah melabelkan para pemboros sebagai saudara-saudara setan dan menjadikan dosa penyekutuan terhadap-Nya sebagai dosa yang tidak terampuni.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya (Terjemah Q.S. Al-Israa’ (17): 27).
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar (Terjemah Q.S An. Nisa (4): 48).
Sayangnya, manusia sering kali membantah aturan dan bersikukuh menyelenggarakan adat-adat jahiliyah dengan alasan adat seperti itu merupakan tradisi yang telah diselenggarakan sejak lama oleh nenek moyang mereka. Padahal, Allah telah melarang mengikuti kebiasaan yang dilakukan nenek moyang jika mereka tidak mengetahui dan tidak mendapat petunjuk dari-Nya. Allah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:
Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? (Terjemah Q.S. Al Maa’idah (5): 104).
Perintah itu sudah disampaikan jauh berabad-abad yang lalu. Tinggal manusia yang kini menentukan, mau mengikutinya atau tidak. Sayangnya, surga hanya disediakan bagi mereka yang mau.
View the Original article
0 comments:
Post a Comment