Zakat Konsep Harta Yang Berish – Concepts on Charity In Islam

on Tuesday, October 9, 2012

Bicara  soal  zakat  dikaitkan  dengan  pemerataan  ada  kesan

memaksakan diri, mangada-ada!. Tapi, anehnya orang tak kunjung

kapok menjadikannya sebagai  tema.  Seolah-olah  yang  penting

bukan  kesepadanan konsep zakat dengan pemerataan. Tapi adanya

kekuatan ghaib, magic, yang tersimpan dalam kata-kata  “zakat”

itu  sendiri.  Ibarat  figur, kata-kata zakat diyakini sebagai

tokoh imam mahdi atau ratu adil yang meski  pun  sangat  sulit

orang  mencernanya,  tapi dalam hati tetap bercokol keyakinan,

suatu saat nanti, lambat atau cepat, kehebatan dan mukjizatnya

diperlihatkan juga.

Sesungguhnyalah,  mengkaitkan soal pemerataan, bahkan keadilan

sekaligus, dengan konsep zakat bukan merupakan  hal  yang  tak

masuk akal. Bahkan mengkaitkannya dengan rukun Islam yang lain

(syahadat, shalat, puasa, juga haji) bukan  merupakan  perkara

mustahil.  Misalnya  karena  kekhusyukannya  dalam  menunaikan

shalat,  seseorang  yang   kebetulan   kaya   raya   tiba-tiba

terpanggil  menginfakkan  seluruh  hartanya  untuk  menghidupi

orang-orang miskin, orang  ini  terbuka  tabir  kerohaniannya.

Tanpa  diduga-duga  orang  ini  tiba-tiba tersadarkan bahwa di

alam dunia ini, seseorang boleh tak punya apa-apa, atau  hanya

pas-pasan  saja,  yang  penting adalah keterpautan hati secara

terus menerus  untuk  menyebut  nama-nama  Nya.  Ajaib!  Tapi,

bagaimanapun hal ini memang tak mustahil.

Masalahnya,  dengan  segala  ajarannya, Islam bukanlah sejenis

halte tempat orang menunggu dengan  kepasifan,  di  mana  akan

munculnya  momen-momen  ajaib  yang  lahir  atas campur tangan

langsung Tuhan  seperti  digambarkan  di  atas.  Karena  Islam

datang  sebagai  petunjuk  untuk  manusia  dan diterapkan oleh

manusia dalam  kapasitas  kodratinya  yang  wajar-wajar  saja.

Yakni  manusia  sebagai  makhluk  Tuhan  yang  memiliki segala

kemungkinan dan potensi kebaikan  maupun  keburukan,  kekuatan

maupun  kelemahan.  Manusia  yang  bisa salah bisa benar, bisa

baik bisa  jahat,  bisa  meng-iblis  tapi  juga  bisa  menjadi

laiknya  malaikat.  Sementara  untuk  manusia yang luar biasa,

manusia  yang  dengan  hak  prerogatif  Tuhan  hanya  memiliki

kemungkinan  baik,  atau  hanya memiliki potensi buruk –kalau

saja yang demikian itu ada dalam kenyataan Islam–  Islam  tak

punya urusan.

Sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuran

yang normal atau yang  wajar,  Islam  tak  saja  harus  ma’qul

(sensible),  tapi  sekaligus  juga ma’mul (applicable). Ma’qul

artinya bisa dicerna logika penalaran, sedang  ma’mul  artinya

bisa  dicerna logika kesejarahan. Logika pemikiran hadir dalam

ujud rnaqal yang bersifat teoritis, logika  kesejarahan  hadir

dalam  ujud  hal  yang bersifat empirik. Berbeda dengan logika

teoritis yang bersifat abstrak dan subyektif,  logika  empiris

bersifat konkrit dan obyektif. Suatu ajaran untuk bisa disebut

ma’mul, harus bisa dijabarkan dalam kerangka kerja sistem yang

bisa  dirancang,  dikontrol dan bisa diukur. Ini berarti bahwa

yang ma’qul  belum  tentu  matmul,  tapi  yang  ma’mul  secara

implisit haruslah ma’qul.

Kembali  pada  pokok  soal,  tentang  “pemerataaan” atau lebih

mendasar  lagi  soal  “keadilan  sosial,”  orang   bisa   saja

mengatakan  bahwa  semua  rukun  Islam  yang lima cukup ma’qul

untuk  memecahkannya.  Tapi  dari  semua  yang   ma’qul   itu,

satu-satunya  yang  sekaligus ma’mul adalah rukun yang ketiga,

yakni zakat.  Karena  seperti  halnya  tema  pemerataan,  atau

keadilan   sosial,   yang   titik   berangkatnya  adalah  pada

pemerataan akses sumber daya materi, zakat adalah satu-satunya

rukun  Islam  yang  berkaitan langsung dengan persoalan materi

itu. Benar bahwa haji pun bersentuhan dengan soal materi, tapi

hanya sebagai sarana yang tetap ada di luar zat-Nya.

Lebih  dari  sekedar  meletakkan  soal  penguasaan sumber daya

materi sebagai subyeknya, zakat –berbeda dengan haji– bahkan

meletakkannya  sebagai  sesuatu  yang  harus diatur sedemikian

rupa agar kemungkinannya untuk menumpuk  hanya  pada  kalangan

tertentu    (aghniya)    bisa    dihindarkan,   atau   ditekan

serendah-rendahnya. Sasarannya bukan agar semua orang memiliki

bagian  secara sama rata, rata sedikitnya atau banyaknya. Tapi

agar tak terjadi suasana  ketimpangan,  dimana  sebagian  yang

lain  hampir-hampir  tak  memiliki  sama sekali. Sebab bermula

dari ketimpangan dalam hal materi  (ekonomi),  ketimpangan  di

bidang yang lain (politik dan budaya) hampir pasti selalu saja

membuntuti.

Maka  konsep  dasar  zakat  sebagai   mekanisme   redistribusi

kekayaan  (materi) adalah pengalihan sebagian aset materi yang

dimiliki  kalangan  kaya  (yang  memiliki  lebih   dari   yang

diperlukan)  untuk  kemudian  didistribusikan pada mereka yang

tak  punya  (fakir  miskin  dan  sejenisnya)  dan  kepentingan

bersama.  Seyogyanyalah  pengalihan  itu dilaksanakan kalangan

berada atas kesadaran  mereka  sendiri.  Tapi  karena  manusia

mengidap  nafsu “cinta harta” (hub-u ‘l-dunya), maka kehadiran

lembaga  yang  memiliki  kewenangan  memaksa  untuk  melakukan

pengalihan  itu  pun menjadi tak terelakkan. Lembaga itu, yang

dalam realitas  sosiologis  memuncak  pada  apa  yang  dikenal

dengan  negara  (state),  dari  sudut  moral  memang merupakan

anomali. Tapi lembaga  anomali  tersebut  perlu  justru  untuk

menjadi  penawar bagi anomali lain yang ada pada diri manusia,

yakni nafsu gila harta (keduniaan) tadi.

Tapi disinilah persoalannya, lembaga negara yang secara  moral

hanya  bisa  dijustified  sepanjang  berfungsi  sebagai  racun

penawar terhadap kerakusan duniawi  masyarakat  manusia  (yang

kuat),  dalam  sejarahnya  justru  cenderung  memainkan  peran

terbalik. Ia dengan segala perangkat lunaknya (seperti  sistem

hukum  dan  perundang-undangan)  maupun  yang  keras  (seperti

satelit pengintai dan  senjata  rudalnya)  seringkali  menjadi

alat  bagi  kepentingan  “penyakit  keduniaan” yang seharusnya

dinetralisir oleh keberadaannya. Maka bisa dimengerti  apabila

pernah  muncul  suatu  obsesi  dalam sejarah pemikiran manusia

yang mengimpikan suatu zaman dimana apa yang  disebut  lembaga

negara  itu tak usah ada lagi. Ajaran Nabi Isa secara implisit

ingin sekali mengingkari keberadaannya. Juga ajaran Karl Marx,

18  abad  kemudian secara eksplisit mengidealkan kepunahannya.

Zaman idaman baginya adalah zaman ketika lembaga negara  telah

lenyap berikut seluruh akar-akarnya.

Syahdan, dalam sejarah politik kenegaraan modern, konsep pajak

sedikit banyak sudah mulai diberi fungsi redistribusi kekayaan

seperti  tersebut  di  atas. Bahkan dengan tarif begitu tinggi

yang  disebut  dengan  pajak  progresif.  Tapi   persoalannya,

setelah  pajak  yang  tinggi itu ditarik dari masyarakat wajib

pajak, apakah memang kemudian  ditasarufkan  untuk  mengangkat

kehidupan  mereka  yang tak punya dan untuk kemaslahatan semua

pihak? Inilah persoalan dasar, siapa  yang  sebenarnya  paling

diuntungkan  oleh pranata pajak yang ditangani lembaga negara,

atau oleh hampir semua negara di atas bumi ini?

Pertanyaan tersebut mengena bukan saja terhadap lembaga negara

yang  dikelola  secara  otoriter,  atau semi otoriter, seperti

yang terjadi di banyak bumi belahan Timur, tapi juga  terhadap

negara-negara  lain  yang  mengaku berjalan secara demokratis,

seperti Amerika dan negara-negara  Barat.  Memang  lebih  gila

lagi, secara lahir batin, adalah negara-negara monarki absolut

zaman  dulu.  Apabila  negara  di  zaman  modern  sudah  mulai

melibatkan  rakyat  melalui  wakil-wakilnya  dalam  menentukan

penggunaan uang pajaknya melalui undang-undang, negara monarki

absolut   memandang   kewenangan   pengalokasian   uang  pajak

(upeti/tax) sepenuhnya di tangan sang raja saja.

Tapi ya itu tadi, dengan  peranan  lembaga  perwakilan  rakyat

dalam  tata kenegaraan modern belum menjadi jaminan bahwa uang

pajak akan ditasarufkan dengan prioritas utama bagi pembebasan

rakyat  lemah.  Dimulai  dari  pembebasan  di  bidang ekonomi,

kemudian menyusul  bidang-bidang  kehidupan  lain  yang  lebih

sublim,   politik  dan  budaya.  Penjelasannya  sederhana,  di

negara-negara Timur  yang  paternalistik,  keberadaan  lembaga

perwakilan  rakyat  umumnya  hanya merupakan permainan politik

kalangan elite penguasa. Lembaga  Perwakilan  Rakyat  hanyalah

sekedar  “nama  dan  proforma”.  Kesadaran dan perilaku mereka

tetaplah  untuk  mengelabui  rakyat  bagi   kepentingan   para

penguasa  yang  mengatur keberadaan mereka. Lembaga Perwakilan

Rakyat  di  negara-negara  Timur  yang   paternalistik,   pada

hakekatnya adalah lembaga Perwakilan Penguasa.

Di negara-negara Barat yang liberal-kapitalistik, independensi

lembaga perwakilan rakyat dengan  penguasa  (baca:  eksekutif)

memang  cukup  kuat.  Tapi  hal itu tetap bukan (belum?) dalam

rangka penegakkan kontrol atas lembaga negara bagi kepentingan

rakyat; lebih-lebih rakyat pada lapisannya yang paling jelata.

Berbeda dengan di Timur, di Barat negara memang sudah tak lagi

sepenuhuya  milik  penguasa  (kaum bangsawan, aristokrat, baik

secara keturunan maupun SK jabatan  seperti  di  Timur).  Tapi

juga  belum  berarti  telah  kembali pada pemiliknya yang sah,

yaitu rakyat keseluruhan yang  dimulai  dari  lapisannya  yang

paling  jelata.  Di  Barat  negara dengan seluruh soko gurunya

(eksekutif, legislatif  maupun  judikatif),  sudah  berada  di

tangan  rakyat,  tapi  baru  yang  ada di lapisan menengah dan

terutama lapisan atas. Mereka yang ada di lapisan bawah,  yang

justru  merupakan pemilik utama sebutan “rakyat” kapan saja ia

diucapkan, masih jauh dari dapat disebut memiliki negara.

Hal tersebut  dapat  dilihat  dengan  jelas,  misalnya,  dalam

alokasi  penggunaan  dana pajak dalam APBN mereka. Bagian yang

paling besar dari dana itu diperuntukkan untuk melindungi atau

melayani  kepentingan  kelas  menengah ke atas. Apakah melalui

sektor pertahanan dalam pengertian yang luas dengan dalih demi

kepentingan  nasional  mereka, atau melalui sektor pembangunan

sarana-sarana mana yang diperuntukkan utamanya  bagi  kalangan

masyarakat  kelas  menengah  ke  atas. Berapa anggaran belanja

yang  diperuntukkan  bagi  pembebasan  rakyat  (jelata),  sama

sekali  tak  berarti. Bahwa di negara-negara Eropa dan Amerika

yang pendapatan  perkapitanya  telah  mencapai  angka  8  ribu

sampai  11 ribu dollar pertahun masih banyak warga negara yang

tuna wisma (homeless) adalah bukti  yang  sangat  cukup  bahwa

rakyat  jelata di sana memang belum bisa disebut ikut memiliki

negara.

Memang ada drama yang  menarik,  dan  bisa  mengelabui  banyak

orang,  seolah negara-negara liberal kapitalis Barat itu telah

menempatkan dirinya di bawah kepentingan rakyat  sejati,  kaum

lemah  dan  melarat.  Drama  itu  pementasannya  di masyarakat

bangsa negara-negara Timur  yang  umumnya  miskin  dan  lemah.

Setiap  kali  bencana  dan musibah terjadi di masyarakat dunia

Timur, negara-negara Barat segera menunjukkan  kedermawanannya

(charity).  Lebih  dari  itu, apabila negara-negara Timur yang

miskin  itu  memerlukan   perbaikan   ekonomi,   mereka   siap

menawarkan  bantuannya.  Baik yang berupa hibah (grant) maupun

yang berupa pinjaman (loan).

Akibat permainan drama kolosal ini, banyak  orang  terhegemoni

untuk  meyakini  bahwa  Barat  memang  teladan  dunia;  sistem

kenegaraan/pemerintahan   yang   liberal-kapitalistik   memang

merupakan  pilihan sejarah terbaik dan terakhir. Padahal, jika

dilihat sedikit lebih kritis, akan  segera  tampak  pada  kita

bahwa  apa  yang  diperbuat  negara-negara Barat tetaplah demi

kepentingan mereka sendiri, sama sekali bukan demi kepentingan

rakyat  dan bangsa negara-negara Timur. Dan kepentingan mereka

(negara-negara  Barat),  seperti  disebutkan  di  atas  adalah

kepentingan  kelompok  yang  mengontrol  roda  kenegaraan atau

pemerintahan, yakni kelompok orang-orang yang  secara  politik

mengendalikan  jalannya  pemerintahan itu sendiri dan kalangan

para kaya kapitalis, selaku cukongnya.

Sampai titik ini  sebenarnya  telah  jelas  bagi  kita  bahwa,

sekurang-kurangnya  dalam tingkat verbal, ide dasar dari zakat

bukan sesuatu yang sama sekali asing dalam struktur  pemikiran

kenegaraan,  lebih-lebih  kenegaraan  modern.  Dengan  pranata

pajaknya ide zakat (bahwa yang kuat  harus  menanggung  beban)

sudah  banyak  dilaksanakan  oleh hampir semua negara di jaman

ini, bahkan dalam tarif yang begitu tinggi. Hanya  masalahnya,

bahwa  beban  yang  ditimpakan kepada mereka yang punya, yakni

beban pajak, ternyata  digelapkan  oleh  negara  sehingga  tak

sampai  ke  alamat  (mustahiq) yang semestinya. Di dunia Timur

yang feodalistik, dana pajak yang dikenakan  atas  orang-orang

kaya   dibelokkan   pentasarufannya   untuk  kepentingan  para

penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Sementara di Barat

yang   liberal-kapitalistik,   dana   pajak   yang  semestinya

diprioritaskan pentasarufannya untuk  memperkuat  yang  lemah,

diputarkan kembali untuk melipat gandakan kekuatan mereka yang

sudah kuat, yakni kaum kapitalis dan  tentu  saja  para  elite

politik sebagai pengawal kepentingan-kepentingannya.

Dengan  kata  lain  persoalan  pokok  dalam topik redistribusi

kekayaan  (asset)  untuk  pemerataan,  dan  kemudian  keadilan

sosial  dalam  tatarannya  yang  lebih  luas, agaknya tak lagi

terutama terletak pada kalangan kaya. Memang di sana bukan tak

ada   masalah   sama  sekali.  Nafsu  kerakusan  mereka  untuk

mengakumulasikan kekayaan lebih banyak dan lebih banyak  lagi,

jelas   merupakan   persoalan   yang  tetap  serius  bagi  ide

pemerataan dan keadilan. Tapi fakta bahwa  dalam  kerakusannya

mereka bisa diikat komitmennya untuk menyisihkan sebagian dari

kekayaannya (berupa pajak) adalah bukti bahwa persoalan  pokok

tak lagi sepenuhnya di tangan mereka. Persoalan pokok itu kini

jelas terutama ada  di  pihak  apa  yang  kita  sebut  lembaga

negara.   Karena   dia   (lembaga   negara)-lah  yang  berbuat

selingkuh. So, what?!


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

About the author



View the Original article

0 comments: